Dari perspektif manusia, Tuhan itu tidak harus disembah oleh manusia. Manusia bebas, mau menyembah boleh, tidak juga terserah. Tapi, masing-masing ada konsekuensinya. Sama seperti orang lapar, haus, berpikir, bicara dst. Secara sepintas orang 'bebas' untuk tidak makan ketika lapar, tidak minum ketika haus, tidak usah mikir biar tidak nambah urusan, tidak usah bicara biar tidak nambah persoalan dst. Tapi, tentu itu semua dengan konsekuensi logis yang harus diterima. Orang lapar bebas untuk makan atau tidak makan. Kalau mau makan, pertama dia harus mencari makan; dia juga harus tahu makanan yang sehat, aman dan baik. Anak kecil belum tahu. Maka, bahkan untuk makan pun manusia harus belajar. Kedua, dia juga harus 'mengolah' bahan makanan yang didapatnya. Entah sekedar dengan mencuci, mengupas kulit, sampai merebus, memberi bumbu dan menghidangkan dengan cara yang cukup 'merepotkan' diri manusia sendiri. Pendeknya, untuk makan pun manusia harus berani repot. Maka dari itu kalau nggak mau repot, boleh saja manusia tidak makan. Tapi apa konsekuensinya kalau tidak makan?
Begitu juga halnya dengan minum, berpikir, berbahasa, bergaul dengan sesama dll. Jadi, meski bebas, pada akhirnya manusia tidaklah bebas mutlak. Ada kondisi-kondisi yang membuat manusia akhirnya harus melakukan pilihan-pilihan yang tersedia. Kebebasan manusia adalah kebebasan yang relatif, yang terbatas, terkondisikan oleh sifat dirinya yang juga terbatas.
Buat orang yang tidak percaya Tuhan, tidak ada keharusan samasekali untuk menyembahnya. Buat orang yang males, tidak usah menyembah Tuhan juga tidak apa-apa. Tuhan tidak membutuhkan sujud manusia. Tuhan maha Mutlak, sedang manusia serba terbatas. Yang terbatas selalu tergantung pada yang Mutlak. Manusia menyembah Tuhan karena manusia sendiri yang membutuhkanNya. Padi, singkong, pisang dll tumbuh, berbuah dan mati adalah proses yang alami. Dia akan selalu begitu baik ada manusia yang memakannya maupun tidak. Manusia makan nasi, bukan karena kasihan pada nasi, tapi karena manusia membutuhkannya. Kalau tidak, dia akan lapar, bisa kelaparan, bahkan akhirnya bisa mati.
Alam semesta adalah ciptaan dan milik Tuhan yang serba kaya. Tuhan tidak membutuhkan alam semesta, juga tidak membutuhkan sembah sujud manusia. Karena itu, meski banyak sekali manusia yang ingkar di muka bumi ini, Tuhan sengaja membiarkan mereka. Tapi, jika di akhirat mereka mau kembali dengan selamat, "menyembah" adalah jalan manusia menuju ke sana.
Kita hidup di dunia untuk menyembah Tuhan, supaya sebagai ciptaan kita tahu diri. Tahu diri bukan berarti serba kikuk, tidak bebas, tidak bisa apa-apa. Tahu diri artinya, mengetahui dengan lebih sempurna diri sendiri, dengan segala potensinya, tahu asal muasal, peran, tujuan dan makna hidup yang sedang dijalaninya. Dengan mengetahui semua itu, manusia bukan cuma tidak terkungkung, bahkan akan bisa lebih bebas mengaktualisasikan dirinya secara optimal. Dia bisa menjadi manusia yang tercerahkan, sekaligus mencerahkan lingkungannya, manusia-manusia lain, bahkan jika dia melakukan amal jariyah dengan menuliskan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku atau karya lainnya, misalnya, dia juga mencerahkan orang lain, membebaskan orang lain dari keterbelengguan dan kebodohan yang mengungkung dirinya. Jika Tuhan dan ajaranNya diibaratkan sumber cahaya dan manusia adalah cermin. Segala pengetahuan dan kekuatan yang dimilikinya hanyalah pantulan dari 'sumber cahaya'. Kalau manusia yang jadi cermin itu tahu drii, dia tidak akan mengklaim bahwa cahaya yang dipantulkan itu miliknya, dan dia tidak takabur. Menyembah adalah membersihkan diri sendiri dari macam-macam kotoran dan menyadarkan diri sendiri kepada sifat terbatas, sekaligus menyadari asal muasal. Semakin intensif manusia menyembah Tuhan, semakin tahu diri dia, semakin teraktualkan potensinya, semakin tawadu' (tawadu' arti dasarnya adalah sesuai dengan posisi). Semakin bersih sebuah cermin, semakin cerah cahaya yang dipantulkannya.
Keadilan Tuhan adalah keadilan Mutlak yang menjadi sumber hukum alam, sunnatullah. Air mengalir ke bawah, api bersifat panas dan berpotensi membakar, angin bergerak dari udara bertekanan tinggi ke tekanan rendah, bumi berputar, makhluk hidup berkembang biak, tumbuh dan mati; semua itu mengikuti 'aturan' sunnatullah. Bacalah kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir tentang berbagai fenomena yang tidak bisa langsung dipahami akal terbatas manusia. Bacalah kisah Nabi Muhmammad dan para sahabatnya tentang betapa sulitnya memberi penerangan dan menegakkan apa yang disebut keadilah Tuhan. Mengapa Tuhan tidak langsung 'turun tangan sendiri' menegakkan keadilanNya dengan cara langung menghukum orang-orang yang ingkar? Salah satunya adalah karena manusia 'bebas memilih' dan manusia diandaikan cukup dewasa untuk menentukan pilihannya, termasuk u ntuk menanggung resiko pilihannya masing-masing.
Karena itu bacalah seperti kata Qur'an; bacalah, bacalah, bacalah.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
tulis komentar di sini